zmedia

Parenting di Meja Makan: VOC Menjadi Solusi Atau Masalah Baru?

Oleh: Julianda BM

Adakah perlunya tetap menjadi orangtua yang otoriter supaya anak mau mengonsumsi sayuran? Pada zaman serba digital ini, di mana anak-anak cenderung lebih terpaku pada layar dibandingkan dengan hidangan mereka, metode mendidik yang kaku dan keras mulai diragukan efektivitasnya. Apakah pola asuh seperti "Parenting VOC" dapat menyelesaikan persoalan tersebut, atau justru akan menyulitkannya, misalnya dalam kasus finicky eater (anak pemilih makanan) serta candi teknologi berlebihan?

Pada waktu istirahat makan siang, saya sempat menyaksikan seorang wanita memberi makan anaknya sembari berbisik lembut, “Nanti ya, cepetannya! Jangan ngoyo!” Di tangannya kirinya terdapat satu sendok penuh dengan nasi, dan di tangan kanannya… sebuah telepon genggam tempat sedang diputarkan videonya kartun favorit sang buah hati tersebut. Anak itu pun mulai mengonsumsi makanannya tetapi ekspresinya datar tanpa riang. Tak tampak rasa senang sama sekali. Baginya hanya saja sudah cukup jika makanan berhasil dimasukkan ke dalam tubuh. Itulah kata-kata yang ia ucapkan.

Lanskap seperti ini tidak jarang ditemui dalam keluarga banyak. Jam makannya seringkali jadi momen tawar-menawar antara orangtua dan si kecil. Beberapa ada yang memberi makan sambil mengiming-imungi dengan janji hadiah es krim. Yang lain lebih memilih cara praktis: menggunakan perangkat elektronik, selama anak tetap tenang dan mau menyantap makanannya.

Banyak orangtua yang, dengan niat baik, memilih untuk bersikap keras. Kadran tidak jarang mereka malah menjadi terlalu otoriter. Makan adalah keharusan mutlak bagi anak-anak; tanpa pengecualian dan lebih-lebih lagi diskusi mengenai selera atau bentuk hidangan tersebut. Pendekatan seperti itu, dikenal juga sebagai gaya parenting VOC, telah turun-temurun melekat dalam budaya keluarga kita.

Kata "Parenting VOC" mungkin terdengar menggelitik—namun maknanya sangat penting. Hal ini berkaitan dengan metode pembinaan anak yang bersifat otoritatif, fokusnya adalah pada peraturan, disiplin, serta kepatutan tanpa memberi kesempatan banyak untuk bernegosiasi. Pendekatan semacam itu mirip dengan taktik kolonial yang cenderung keras dan searah.

Akan tetapi, ketika menemui hambatan dalam mendidik anak di era sekarang seperti pemilih makanan atau ketergantungan pada perangkat elektronik selama jam makannya, apakah metode tegas itu masih berfungsi dengan baik?

ternyata beberapa studi mengindikasikan bahwa pendekatan otoriter dapat memperparah masalah picky eating pada anak-anak. Ketika mereka terus-menerus dipaksa atau dibujuk untuk makan, hal ini justru membuat mereka menjadi lebih bertahan dan enggan mencoba hidangan baru. Bahkan, situasi tersebut bisa menyebabkan tekanan emosional hingga ke titik dimana sekadar melihat sayuran pun sudah cukup membuat mereka stres.

Selain mempengaruhi anak-anak, cara mengasuh seperti itu juga dapat menjadikan jam makannya sebagai momen yang menegangkan untuk para orangtua. Selalu harus "memenangi" setiap sesi makan bisa bikin orangtua menjadi frustasi dan bahkan merasa letih secara psikis. Aktivitas makan pun tak lagi dianggap hal yang menyenangkan, melainkan seolah-olah tugas rutinitas yang sangat melelahkan.

Sebaliknya, gaya parenting otoritatif --- yang menggabungkan disiplin dengan keramahtamahan dan komunikasi dua arah --- ternyata lebih berhasil dalam menciptakan kebiasaan makan yang sehat. Anak-anak merasa dihormati namun tetap mendapatkan panduan.

Sebagai contoh, bukan dengan cara memaksanya untuk mengonsumsi sayuran, sebaiknya orangtua dapat mendukung anak dalam proses pemilihan serta persiapan hidangan. Melalui pendekatan ini, si kecil akan merasakan perannya sehingga menjadi lebih terbuka untuk mencoba jenis makanan baru. Terkadang, anak cenderung lebih berminat untuk menyentuh brokolin yang telah mereka iris sendiri ketimbang hanya diminta untuk memakannya saja.

Momen makan bersama keluarga memiliki peranan signifikan. Pentingnya tidak hanya pada jenis makanan yang dikonsumsi, tetapi juga dinamika lingkungan sekitar. Di dalam atmosfer yang tenang dan rileks, si kecil dapat mengambil hikmah dengan cara pengamatan—misalkan melihat bapak memakan sayuran atau ibu merasai buah-buahan, ini semua menjadi pembelajaran tersirat yang berkesinambungan.

Pemilihan makanan yang sangat selektif ini disebabkan oleh beberapa hal. Beberapa penyebabnya berkaitan dengan aspek biologis, misalnya kepekaan terhadap cita rasa atau tekstur spesifik. Namun, sebagian besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan—seperti pola makannya di rumah, keteraturan waktu, hingga perasaan ketika sedang menyantap hidangan tersebut.

Pengalaman para orangtua memiliki dampak signifikan. Orang tua yang mengerti tentang nutrisi dasar serta pertumbuhan si kecil biasanya lebih lentur dan arif ketika merespons sikap pemilih mereka terhadap makanan. Mereka sadar bahwa penolakan untuk makan belum tentu mencerminkan perilaku bandel—terkadang cukup diperlukan metode baru dalam mendekati hal tersebut.

Menariknya, beberapa penelitian mengindikasikan bahwa memberikan ASI secara eksklusif pada tahap awal pertumbuhan anak bisa membantu mengurangi kecenderungan menjadi pemilih dalam memakan makanan. Varietas rasa dari ASI yang dipengaruhi oleh jenis makanan sang ibu akan membuat bayi terbiasa dengan aneka rasa semenjak usia dini.

Dari situ dapat disimpulkan bahwa mengatasi pilih-pilihan makanan serta kebiasaan bermain gadget saat menyantap makanan tidak hanya tentang memaksimalkan pembentukan peraturan ketat. Sebaliknya, dengan membina ikatan yang erat, mendemonstrasikan contoh yang baik, dan menjaring partisipasi si Kecil dalam aktivitas makannya, dampak positif akan terwujud dengan optimal.

Oleh karena itu, mungkin sudah waktunya kita berhenti menggunakan metode "Parenting VOC" terhadap anak-anak. Generasi masa kini tak cuma menginginkan pembinaan semata, melainkan juga pemahaman serta kesempatan berkembang. Sebaiknya jam makannya dapat menjadi peluang mendekatkan diri, daripada membuat perbedaan yang lebih lebar.

Post a Comment for "Parenting di Meja Makan: VOC Menjadi Solusi Atau Masalah Baru?"